Wednesday, November 6, 2013

Teologi Agama-agama



        I.            PEMBAHASAN
1.1.  Pengertian Pluralisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pluralis adalah suatu keadaan masyarakat yang bersangkut paut dengan sistem sosial plitik. Menurut Darwin Lumbantobing, Pluralisme adalah suatu paham yang melahirkan sikap mengakui dan sekaligus menghargai, menghormati dan memelihara bahkan mengembangkan serta memperkaya pengakuan terhadap keadaan yang bersifat plural, jamak atau sesuatu yang bersifat keanekaragaman.[1] Dan menurut Stevril I. Lumitang, Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya suatu kebenaran yang dilihat dari sudut panadang yang bebeda.[2] muncul dari keragaman iman ditengah kehidupan manusia. Pluralisme disejajarkan dengan beragam. Secara umum dipahami bahwa dalam sosiologi maupun keagamaan, pemahaman istilah tersebut juga beranekaragam. Secara Harafia, Pluralisme berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagian atau banyak. Oleh karenanya sesuatu dikatakan plural terdiri dari banyak jenis, pelbagai sudut pandang serta latar belakang.[3]
1.2.  Pengertian Mistisme
Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahan akan mistis yaitu sebagai suatu yang bersifat mistik. Dan mistik memilki 2 pengertian, yaitu: Pertama, Subsistem yang ada hampir ada disemua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan; Kedua,hal yang gaib yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Sedangkan mistisme diartikan sebagai ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak boleh terjangkau oleh pikiran manusia.[4] Dan didalam kamus Inggris-Indosnesia, mistisme diartikan sebagai ilmi Tassawuf atau kebatinan, berasal dari kata benda “mystik” yang artinya sebagai mistik atau penganut ilmu kebatinan.[5]
1.3.  Jenis-jenis Pengalaman Mistis
Pengalaman mistis merupakan pengalaman langsung atas sesuatu yang kekal atau abadi yang bersifat pribadi atau hanya sekedar dari kesadaran yang dianggap sebagi sesuatu yang tidak tenang, tidak berwaktu, tidak bisa mati dan kekal atau yang dianggap sebagai Tuhan yang pribadi.
Ada 3 (tiga) jenis penglaman Mistik:
·         Pengalaman Ekstatis-Mistisme Alam
Pengalaman ini dimana jiwa merasakan dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu yang tidak terjamah oleh maut. Pengalaman ini bisa dimiliki oleh semua orang dari semua agama bahkan orang yang tidak memilki agama sekalipun dapat memilikinya. Dipengalaman ini jiwa itu melihat dirinya sebagai sesuatu yang utuh dan mengatasi segala dualitas kehidupan duniawi. Yang dimana jiwa merasakan dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu yang tak terjamaholeh maut. Dalam pengalaman ini, batas antar si “aku” dan yang “bukan aku”, subyek yang mengalami dan dunia obyektif lenyap, serta segala sesuatu tanpak sebagi yang satu dan yang satu sebagai semua. Sehingga inti pengalaman ini adalah Individualitas sendiri tanpaknya larut dan mengabur, serta hal ini membawa kegembiraan dan kedamaian.
·         Pengalaman Estatis
Pengalaman ini adalah terserapnya jiwa kedalam hakekatnya sendiri. Pengalaman ini mengenai kesatuan mutlak atau hakekat rohani yang paling mendalam atau mendasar dalam lubuk keberadaanya. Pengalaman ini sama dengan pengalaman ekstatis dalam hal keduannya mengatasi dimensi ruang dan waktu. Dalam pengalaman ini kesatuan yang dialami dalam jati diri. Suatu pengalaman akan hadirnya kebebasan yang ilahi dalam jiwa. 
·         Pengalaman Teitis
Jenis pengalan ini adalah Mistisme cinta akan Tuhan  dalam cinta dan penyerahan diri serta melalui partisipasi jiwa yang dapat dirasakan dalam keberadaan Tuhan. Sehingga para Mistikus dengan sungguh-sungguh menyadari ketergantungan totalnya kepada Tuhan, dan karenanya menyerahkan diri secara utuh kepada tindakan yang Illahi tanpa menghilangkan jati dirinya. Cintalah yang merupakan bagian yang terpenting dalam mistisme teitis ini, karena dari hal itu kita diajar bahwa Tuhan adalah cinta.[6]
                Sehingga kontemplasi di dalam teisme dimengerti sebagai persekutuan. “Mereka akan sedemikian bersatu dengan Tuhan sehingga takkan pernah meninggalkan Tuhan, dan Tuhanpun takkan pernah meninggalkan mereka; dan dengan tinggal didalamnya, mereka akan mengalami Tuhan dalam segala sesuatu.”
1.4.  Mistis Dalam beberapa agama
1.       Agama Kristen
Berbicara penyataan Allah dalam agama kristen merupakan pembahasan mengenai sang Illah  yang sama sekali tidak terjangkau oleh manusia. Pernyataan Allah ini memiliki tujuan agar manusia diselamatkan setelah kejatuhannya dalam dosa, dan penyataan Allah mencapi puncak pada pribadi Yesus sebagai penyataan Allah yang khusus, mistik dalam agama kristen berorientasi pada meisteri Kristus dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam penyerahan diri secara total kepada kristus, biasanya membawa kepada perubahan kesadaran.[7]
2.       Agama Islam
Dalam Agama Islam aliran Sufisme adalah aliran mistik, yang mana Islam sunni menekankan penyerahan diri pada Allah. Meskipun Allah itu tersembunyi yang tidak dapat dikatahui.[8] Bagi kaum Islam mereka mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan hanya Dia yang abadi, sebagaimana tercantunm dalam Al-Qur’an bahwa “Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya”. Para Mistikus dalam hakekatnya terdalam mengalami dirinya sebagai yang kekal, tidak adapat mati dan tak berwaktu. Seorang musilim mistikus tahu bahwa tidak ada sesuatu yang kekal kecuali Allah. Kaum Sufi saendiri yang bertujuan mencari Tuhan, menyebut dirinya sebagai pengembara (Salik). Ia melakukan pengembaraan dengan perlahan melalui tahapan (maqamat). Dengan cara penyesalan (Tobat), pantangan, membatasi keinginan, kekafiran, kesabaran, percaya kepada Tuhan dan kepuasan.[9] Tentu setelah melewati lintasan (tariqat), guna mencapai tujuan untuk bersatu dengan kenyataan (fana fil haq). Tahapan tersebut merupakan disiplin asketis dan etika sufi. Perjalanan kaum sufi tidak akan berakhir hingga berhasil melintasi seluruh tahapan yang membuat dirinya sempurna dalam suatu tahap. Sebelum melangkah ketahap berikutnya, maka ia senantiasa menikmati apapun bentuk keadaan sebagai karunia Tuhan yang memang telah dilimpahkan kepada dirinya. Maka segera perlahan ia naik tahap kesadaran lebih tinggi. Tahap ini disebut kaum sufi sebagai pengetahuan (Gnosis atau ma’rifat) dan sebagi kebenaran (haqiqat). Dimana mereka menjadi orang yang tahu (arif), danmenyadari melalui pengetahuan itu ia mengetahui “yang tunggal.[10]
3.       Agama Hindu
Dalam agama Hindu jika berbicara tentang mistisme berarti kita berbicara tentang yoga. Dimana Yoga adalah jalan mencapai Moksa, yang didalamnya terdapat latihan rohani yang keras demi mencapai kelepasan. Dalam kehidupan sehari-hari penganut yoga berusaha hidup saleh, tidak dikuasai hawa nafsu, banyak berpuasa, hidup bermeditasi, dalam bermeditasi yang tertinggi maka berpikirpun berhenti dan jiwannya tenggelam dalam obyek perenungan inilah yang disebut semedi. Jadi tujuan yoga yaitu untuk melepaskan rohnya dari materi (Zat), maka tidak lagi terikat dengan hukum-hukum materi sehingga ia dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa.[11]
4.       Agama Buddha
Dalam Agama Buddha yang menjadi mistiknya adalah adanya cita-cita religious yang merupakan pembebasan dari perbudakan dan kelahiran kembali dari kematian dan derita untuk memperoleh kedamaian dan kesadaran yang lebih tinggi dan nirvana.[12] Kelahiran dalam agama Buddha, sidarthagautama merupakan satu hal yang mengandung mistik dalam agama Buddha, dimana kelahiran Buddha bukan merupakan hubungan biologis tetapi merupakan suatu hal yang tidak biasa diapahami oleh manusia itu sendiri.[13]
1.5.  Pluralis Jembatan Mistis
Pertama kita harus menyadari bahwa setiap agama memiliki cara yang berebeda-beda dalam mengakui menghayati dan mengenal Allahnya. Dalam hubungan dengan agama-agama lain teologi pluralis pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul perbedaan-perbedaan yang nyata dan jelas diantara tradisi agama.[14]  Pembahasan mengenai pluralisme jembatan mistis merupakan hal yang membahas mengenai segala bentuk pengungkapan, simbol yang menunjuk kepada suatu pengungkapan respon manusia kepada Allah. Secara teologis pengkajian akan pluralisme akan jembatan mistis meyakini bahwa setiap agama memiliki pandangan mistis dalam memahami doktrin agamanya. Hal ini membawa kaitan bahwa dalam memeluk suatu agama harus mengakui keberadaan atau jalan msitis agama lain dalam memahami keberadaan Allah.
                Memang harus diakui bahwa dalam berbagai segi agama-agama tidak memilki sedikitpun persamaan tetapi masing-masing agama dapat mempunyai sesuatu yang dianggap mistis. Orang yang menekankan mistis adalah orang yang merasakan pengalaman berjumpa dengan misteri. Hanya orang yang pernah mengalamilah yang bisa merasakannya. Namun semua agama memilki karakter berasama yaitu pengalaman akan pernyataan Allah yang trasenden dalam sejarah yang imanen.[15] Ada suatu keyakinan yang dipegang oleh para teolog pluralisme jembatan mistis bahwa persepsi religious yang secara historis relatif itu memusatkan perhatian pada isi dari pengalaman religious yang otentik, yaitu pada yang tak terbatas, misteri yang melampaui semua bentuk keagamaan.[16]
1.6.  Pandangan Para tokoh tentang Mistis
1.       Wilfred Cantwell Smith
Smith dikenal dengan konsep tentang penyembahan berhala. Ia mengatakan tidak seorangpun pernah menyembah berhala. Smith menggunakan pemahaman penyembahan berhala yang telah lama dipegang tradisi agama untuk mengungkapkan alasan mengapa kita membutuhkan sikap baru terhadap kepercayaan-keparcayaan lain. Menurutnya penyembahan berhala tidak menggambarkan agama lain, melainkan agama kristen sendiri. Hal ini dikemukakan melalui pemahaman mendalamnya mengenain orang-orang Hindu dalam menghormati sapi yang mereka lihat, bukan yang kita lihat. Kegagalan orang kristen untuk memahami, apalagi mengahargai apa yang berlangsung dalam kehidupan rohani komunitas-komunitas yang dilayani patung-patung adalah bagian integral dan tradisi kita. Menurutnya kesalahan itu adalah kegagalan mengakui bahwa ada sesuatu yang berlangsung secara rohani. Akibatnya, konsep-konsep yang dikembangkan telah menununjukkan keterlibatan benda-benda materi, tetapi tidak melenyapkan dimensi trasenden dan yang merupakan arti pentingnya yang utama. Pengertiannya akan konsep tentang penyembahan berhala didapkan dari studinya tentang kehidupan Hindhu. Pertama adalah upacara pratisha/pranapratisha (upacara mengundang dewa/dewi agar menempatkan kehadirannya dalam patung tersebut dan menguduskan patung itu menjadi temapat keillahian bagi para pemujannya). Kedua, Berdasarkan sebuah ayat didalam yogvaitha yang berisikan tentang ‘yang trasenden’;Engkau tidak berbentuk, bentukMu satu-satunya adalah pengetahuan kami tentang Engkau. Baginya hal ini membuktikan presepsi brilian dan sangat terang, sebuah penyataan yang secara teologis sangat tajam yang diketahuinya.[17]
2.       Stanley J. Samarthzs
Berdasarkan pemehaman samartha, dalam kehidupan keagamaan misteri dan makna saling berkaitan. Tanpa penyingkapan makna pada bagian-bagian khusus dalam sejarah atau dalam kesadaran manusia, tidak mungkin ada tanggapan manusia terhadap misteri. Sejarah agama-agama memperlihatkan bahwa tangapan-tanggapan ini banyak dan berbeda-beda dalam tradisi keagamaan tertentu. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor-faktor budaya dan sejarah. Menurutnya, dalam bergerak meninggalkan eksklusivitas dan inklusivitas, orang kristen harus tiba pada pemahaman lebih lebih jelas mengenai keunikan Yesus. Ciri Khas Yesus Kristus tidak terletak dalam klaim bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Mengangkat Yesus dalam status Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus dari Nazaret adalah pencobaan-pencobaan yang harus dihindari. Hal ini bertujuan untuk menghindari bahaya-bahaya dan menolong dalam membangun hubungan-hubungan baru dengan sesama kita yang beriman lain. Peryataan bahwa Allah adalah pencipta seluruh kehidupan dan seluruh umat manusia, meletakkan orang kristen dan sesama umat beriman lain bersama-sama menuju pada sumber kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu Kristosentrisme tanpa Teosentrisme membawa kita kepada penyembahan berhala. Kristologi teosentrisme memberi dasar untuk mempertahankan misteri Allah, serta mengakui keberadaan Yesus Kristus. Kristologi ini memungkinkan komitmen kepada Allah di dalam Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama kita yang beriman lain, dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang lebih menyeluruh untuk mengadakan dialog dengan umat beraga lain.[18]
3.       Raymud Panikkar
Tujuan dan kebahagiaan hidup Reymund Panikkar dijalaninya diatara berbagai dunia yang luas dan berbeda-beda. Ia lahir dari ibu keturunan Spanyol yang Katolik dan ayah India yang beraga Hindu. Namun yang menjadi dasar utama studi teksnya dan perbandingan berbagai doktrin adalah pengalaman pribadi mistik yang ditekuninya dalam pengalaman pribadinnya dan yang telah diamati dan dipelajarinya dalam berbagai tradisi agama.[19] Panikkar sendiri menghimbau umat kristiani untuk meninjau ulang pemahaman tentang Yesus. Hal ini dikarenakan cara kebanyakan umat kristiani selama berabad-abad, khusnya selama masa kolonial memperlakukan Yesus sebagai “Allah suku” yang bertindak mengalahkan atau menaklukkan Allah lain. Bagi panikkar sikap ini merupakan tantangan millenium baru, yaitu mengatasi Kristologi suku dengan satu satu Kristofani yang memampukan umat kristen memahami pekerjaan Kristus dimana-mana tanpa menyangka bahwa mereka memiliki pemahaman yang baik atau memonopoli misteri yang telah dinyatakan kepada mereka melalui cara yang unik. Dengan membedah dan menyeleksi pernyataan ini, kita memperoleh beberapa unsur penting ttentang Kristofani dari Panikkar, Yaitu suatu yang memberi kesempatan bagi umat Kristus untuk bercahaya dari dalam semua agama (Chiristo-phani:Pemunculan Kristus) tanpa memberikan hak atau monopoli pada salasatu agama. Pemahaman seperti ini akan menyegarkan maupun memperbaharui berbagai keyakinan tradisionla tentang Yesus dan bersamaan dengan itu akan menghilangkan sebagian tambahan monopolistik. Berdasarkan pernyataan panikkar digambarkan bahwa Misteri tertinggi (Ultimate Mistery) itu tidak tergambarkan, semua agama dapat ikut serta dalam misteri ini serta mencerminkannya. Secara lebih mendalam, Panikkar khususnya menekankan keterbatasan penalaran. Menurutnya keterbatasan Pluralism harus dipahami bahwa tidak ada ‘satu’ yang dapat dipaksakan terhadap yang ‘banyak. Yang banyak akan selalu ada, perbedaan dan ketidaksepakatan juga akan selalu ada.[20]
4.       Seiichi Yagi
Ia mengatakan bahwa kontak primer Allah dengan manusia dan kontak diri sekunder Allah denga diri manusia, dimana kontak primer Allah adalah Allah yang telah mentakan keberadaan diriNya dalam hidup manusia, walaupun sering kali tidak disadari. Sehingga pribadi manusia menyadari akan keberadaan Allah yang merupakan kontak sekunder Allah dengan manusia.[21]
1.7.  Analisa Penyaji akan Mistis
Mistisme bukanlah gejala yang gaib dan paranormal, seperti kemampuan membaca pikiran, telepati, ataupun pengangkatan ketarif lebih tinggi. Oleh karena itu pengalaman mistik merupakan pengamatan lansung atas sesuatu yang kekal, entah dipahami dalam pengertian-pengertian yang bersifat pribadi atau hanya sekedar keadaan dari kesadaran. Atau hilangnya rasa kepribadian atau kesadaran ego dalam suatu keseluruhan yang lebih besar. Oleh karena itu pemahaman mistis yang kami pahami adalah yaitu tidak ada pengalaman rohani dari manusia itu terhadap Allah. Karena kita memahami bahwa Agama diyakini karena Allah yang menyatakan diri, oleh karena itu kita tidak memiliki hak tentunya untuk menyatakan bahwa agama lain itu salah. Karena bukanlah manusia yang menjumpai Allah, namun Allah yang menjumpai manusia karena kita tidak mengetahui perjalan Allah karena kita mahkluk terbatas tentunya. Oleh karena itulah dari plural Mistis yang menekankan bahwa Pusat utama kita bukan lagi kepada Yesulogi namun membangun Kristologi Teosentris yang kembali berpusat kepada Allah.
      II.            KESIMPULAN
Secara teologis pengkajian akan pluralisme akan jembatan mistis meyakini bahwa setiap agama memiliki pandangan mistis dalam memahami doktrin agamanya, dengan tujuan untuk memahami yang Illahi bagi setiap pemeluknya. Dan juga paham Pluralis sabagai jembatan Mistis, hal mengenai doktrin atau cara penyembahan kepada Allah dalam hal ini tidak terlalu dipersoalkan, tetapi yang terpenting kita bertemu dengan Allah.


[1] Darwin Lumbantobing, Teologi dipasar Bebas, (Pematang Siantar:L-SAPA, 2007), 275
[2] Stevril I. Lumintang, Teologi Abu-abu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 41
[3] Syafa’atun Elmirzah, Pluralisme, konflik dan perdamaian, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2002), 7
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1265
[5] John M. Echols & Hassan Shaldily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 389
[6] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2006), 278-288
[7] William Johnston, Mistik-Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1978), 29-30
[8]  David W. Shenk, Illah-illah Global (Jakarta: BPK-GM, 2003), 355
[9] Mariasusay Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 285
[10] Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Agama Islam, (Jakarta: Bumi Akasara, 1998), 22-23
[11]Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 278
[12] A. G. Honing Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 134-135
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindhu dan Buddha, (Jakarata:BPK-GM, 2005), 64
[14] Paul F. Knitter, Satu Bumi banyak Agama:Dialog Multi Agama dan tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 45
[15] William Johnston, Mistik-Kristiani, 29-30
[16] Joas Adiprasetya, Mencari dasar Agama, (Jakarta:BPK-GM, 2002), 80
[17] Jonh hick&paul F. Knitter, itos keunikan agama Kristen, (Jakarta: BPK-GM, 2001), 83-89
[18] Stanley J. Smartha, Salib dan pelangi: Kristus dan budaya Multi agama, 
[19] Paul F. Knitter, Pengatar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 151
[20] Paul F. Knitter, 156
[21] Seiichi Yagi, dalam john Hick & Paul F. Knitter, 182-183

No comments:

Post a Comment