I.
PEMBAHASAN
1.1. Pengertian Pluralisme
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pluralis adalah suatu keadaan masyarakat
yang bersangkut paut dengan sistem sosial plitik. Menurut Darwin Lumbantobing,
Pluralisme adalah suatu paham yang melahirkan sikap mengakui dan sekaligus
menghargai, menghormati dan memelihara bahkan mengembangkan serta memperkaya
pengakuan terhadap keadaan yang bersifat plural, jamak atau sesuatu yang
bersifat keanekaragaman.[1]
Dan menurut Stevril I. Lumitang, Pluralisme adalah paham yang mengakui adanya
suatu kebenaran yang dilihat dari sudut panadang yang bebeda.[2]
muncul dari keragaman iman ditengah kehidupan manusia. Pluralisme disejajarkan
dengan beragam. Secara umum dipahami bahwa dalam sosiologi maupun keagamaan,
pemahaman istilah tersebut juga beranekaragam. Secara Harafia, Pluralisme
berarti jamak, beberapa, berbagai hal, keberbagian atau banyak. Oleh
karenanya sesuatu dikatakan plural terdiri dari banyak jenis, pelbagai sudut
pandang serta latar belakang.[3]
1.2. Pengertian
Mistisme
Didalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahan akan mistis yaitu sebagai suatu yang
bersifat mistik. Dan mistik memilki 2 pengertian, yaitu: Pertama, Subsistem yang ada hampir ada disemua agama dan sistem
religi untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu
dengan Tuhan; Kedua,hal yang gaib
yang tidak terjangkau dengan akal manusia. Sedangkan mistisme diartikan sebagai
ajaran yang menyatakan bahwa ada hal-hal yang tidak boleh terjangkau oleh
pikiran manusia.[4] Dan
didalam kamus Inggris-Indosnesia, mistisme diartikan sebagai ilmi Tassawuf atau
kebatinan, berasal dari kata benda “mystik”
yang artinya sebagai mistik atau penganut ilmu kebatinan.[5]
1.3. Jenis-jenis Pengalaman Mistis
Pengalaman
mistis merupakan pengalaman langsung atas sesuatu yang kekal atau abadi yang
bersifat pribadi atau hanya sekedar dari kesadaran yang dianggap sebagi sesuatu
yang tidak tenang, tidak berwaktu, tidak bisa mati dan kekal atau yang dianggap
sebagai Tuhan yang pribadi.
Ada 3 (tiga) jenis penglaman Mistik:
·
Pengalaman Ekstatis-Mistisme Alam
Pengalaman
ini dimana jiwa merasakan dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu
yang tidak terjamah oleh maut. Pengalaman ini bisa dimiliki oleh semua orang
dari semua agama bahkan orang yang tidak memilki agama sekalipun dapat
memilikinya. Dipengalaman ini jiwa itu melihat dirinya sebagai sesuatu yang
utuh dan mengatasi segala dualitas kehidupan duniawi. Yang dimana jiwa merasakan
dirinya disatukan dengan kehidupan segala sesuatu yang tak terjamaholeh maut.
Dalam pengalaman ini, batas antar si “aku” dan yang “bukan aku”, subyek yang
mengalami dan dunia obyektif lenyap, serta segala sesuatu tanpak sebagi yang
satu dan yang satu sebagai semua. Sehingga inti pengalaman ini adalah
Individualitas sendiri tanpaknya larut dan mengabur, serta hal ini membawa
kegembiraan dan kedamaian.
·
Pengalaman Estatis
Pengalaman
ini adalah terserapnya jiwa kedalam hakekatnya sendiri. Pengalaman ini mengenai
kesatuan mutlak atau hakekat rohani yang paling mendalam atau mendasar dalam
lubuk keberadaanya. Pengalaman ini sama dengan pengalaman ekstatis dalam hal
keduannya mengatasi dimensi ruang dan waktu. Dalam pengalaman ini kesatuan yang
dialami dalam jati diri. Suatu pengalaman akan hadirnya kebebasan yang ilahi
dalam jiwa.
·
Pengalaman Teitis
Jenis
pengalan ini adalah Mistisme cinta akan Tuhan
dalam cinta dan penyerahan diri serta melalui partisipasi jiwa yang
dapat dirasakan dalam keberadaan Tuhan. Sehingga para Mistikus dengan
sungguh-sungguh menyadari ketergantungan totalnya kepada Tuhan, dan karenanya
menyerahkan diri secara utuh kepada tindakan yang Illahi tanpa menghilangkan
jati dirinya. Cintalah yang merupakan bagian yang terpenting dalam mistisme
teitis ini, karena dari hal itu kita diajar bahwa Tuhan adalah cinta.[6]
Sehingga
kontemplasi di dalam teisme dimengerti sebagai persekutuan. “Mereka akan
sedemikian bersatu dengan Tuhan sehingga takkan pernah meninggalkan Tuhan, dan
Tuhanpun takkan pernah meninggalkan mereka; dan dengan tinggal didalamnya,
mereka akan mengalami Tuhan dalam segala sesuatu.”
1.4. Mistis
Dalam beberapa agama
1.
Agama Kristen
Berbicara
penyataan Allah dalam agama kristen merupakan pembahasan mengenai sang
Illah yang sama sekali tidak terjangkau
oleh manusia. Pernyataan Allah ini memiliki tujuan agar manusia diselamatkan setelah
kejatuhannya dalam dosa, dan penyataan Allah mencapi puncak pada pribadi Yesus
sebagai penyataan Allah yang khusus, mistik dalam agama kristen berorientasi
pada meisteri Kristus dalam kaitannya dengan kitab suci. Dalam penyerahan diri
secara total kepada kristus, biasanya membawa kepada perubahan kesadaran.[7]
2.
Agama Islam
Dalam
Agama Islam aliran Sufisme adalah aliran mistik, yang mana Islam sunni
menekankan penyerahan diri pada Allah. Meskipun Allah itu tersembunyi yang
tidak dapat dikatahui.[8]
Bagi kaum Islam mereka mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan hanya Dia
yang abadi, sebagaimana tercantunm dalam Al-Qur’an bahwa “Segala sesuatu binasa kecuali wajah-Nya”. Para Mistikus dalam
hakekatnya terdalam mengalami dirinya sebagai yang kekal, tidak adapat mati dan
tak berwaktu. Seorang musilim mistikus tahu bahwa tidak ada sesuatu yang kekal
kecuali Allah. Kaum Sufi saendiri yang bertujuan mencari Tuhan, menyebut
dirinya sebagai pengembara (Salik). Ia melakukan pengembaraan dengan perlahan
melalui tahapan (maqamat). Dengan cara penyesalan (Tobat), pantangan, membatasi
keinginan, kekafiran, kesabaran, percaya kepada Tuhan dan kepuasan.[9]
Tentu setelah melewati lintasan (tariqat), guna mencapai tujuan untuk bersatu
dengan kenyataan (fana fil haq). Tahapan tersebut merupakan disiplin asketis
dan etika sufi. Perjalanan kaum sufi tidak akan berakhir hingga berhasil
melintasi seluruh tahapan yang membuat dirinya sempurna dalam suatu tahap.
Sebelum melangkah ketahap berikutnya, maka ia senantiasa menikmati apapun
bentuk keadaan sebagai karunia Tuhan yang memang telah dilimpahkan kepada
dirinya. Maka segera perlahan ia naik tahap kesadaran lebih tinggi. Tahap ini
disebut kaum sufi sebagai pengetahuan (Gnosis atau ma’rifat) dan sebagi
kebenaran (haqiqat). Dimana mereka menjadi orang yang tahu (arif), danmenyadari
melalui pengetahuan itu ia mengetahui “yang tunggal.[10]”
3.
Agama Hindu
Dalam
agama Hindu jika berbicara tentang mistisme berarti kita berbicara tentang
yoga. Dimana Yoga adalah jalan mencapai Moksa, yang didalamnya terdapat latihan
rohani yang keras demi mencapai kelepasan. Dalam kehidupan sehari-hari penganut
yoga berusaha hidup saleh, tidak dikuasai hawa nafsu, banyak berpuasa, hidup
bermeditasi, dalam bermeditasi yang tertinggi maka berpikirpun berhenti dan jiwannya
tenggelam dalam obyek perenungan inilah yang disebut semedi. Jadi tujuan yoga
yaitu untuk melepaskan rohnya dari materi (Zat), maka tidak lagi terikat dengan
hukum-hukum materi sehingga ia dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa.[11]
4.
Agama Buddha
Dalam
Agama Buddha yang menjadi mistiknya adalah adanya cita-cita religious yang
merupakan pembebasan dari perbudakan dan kelahiran kembali dari kematian dan
derita untuk memperoleh kedamaian dan kesadaran yang lebih tinggi dan nirvana.[12]
Kelahiran dalam agama Buddha, sidarthagautama merupakan satu hal yang
mengandung mistik dalam agama Buddha, dimana kelahiran Buddha bukan merupakan
hubungan biologis tetapi merupakan suatu hal yang tidak biasa diapahami oleh
manusia itu sendiri.[13]
1.5. Pluralis
Jembatan Mistis
Pertama
kita harus menyadari bahwa setiap agama memiliki cara yang berebeda-beda dalam
mengakui menghayati dan mengenal Allahnya. Dalam hubungan dengan agama-agama
lain teologi pluralis pertama-tama mengakui, menegaskan, merangkul
perbedaan-perbedaan yang nyata dan jelas diantara tradisi agama.[14] Pembahasan mengenai pluralisme jembatan
mistis merupakan hal yang membahas mengenai segala bentuk pengungkapan, simbol
yang menunjuk kepada suatu pengungkapan respon manusia kepada Allah. Secara
teologis pengkajian akan pluralisme akan jembatan mistis meyakini bahwa setiap
agama memiliki pandangan mistis dalam memahami doktrin agamanya. Hal ini
membawa kaitan bahwa dalam memeluk suatu agama harus mengakui keberadaan atau
jalan msitis agama lain dalam memahami keberadaan Allah.
Memang
harus diakui bahwa dalam berbagai segi agama-agama tidak memilki sedikitpun
persamaan tetapi masing-masing agama dapat mempunyai sesuatu yang dianggap
mistis. Orang yang menekankan mistis adalah orang yang merasakan pengalaman
berjumpa dengan misteri. Hanya orang yang pernah mengalamilah yang bisa
merasakannya. Namun semua agama memilki karakter berasama yaitu pengalaman akan
pernyataan Allah yang trasenden dalam sejarah yang imanen.[15]
Ada suatu keyakinan yang dipegang oleh para teolog pluralisme jembatan mistis
bahwa persepsi religious yang secara historis relatif itu memusatkan perhatian
pada isi dari pengalaman religious yang otentik, yaitu pada yang tak terbatas,
misteri yang melampaui semua bentuk keagamaan.[16]
1.6. Pandangan Para tokoh tentang Mistis
1. Wilfred Cantwell Smith
Smith
dikenal dengan konsep tentang penyembahan
berhala. Ia mengatakan tidak seorangpun pernah menyembah berhala. Smith
menggunakan pemahaman penyembahan berhala yang telah lama dipegang tradisi
agama untuk mengungkapkan alasan mengapa kita membutuhkan sikap baru terhadap
kepercayaan-keparcayaan lain. Menurutnya penyembahan berhala tidak
menggambarkan agama lain, melainkan agama kristen sendiri. Hal ini dikemukakan
melalui pemahaman mendalamnya mengenain orang-orang Hindu dalam menghormati
sapi yang mereka lihat, bukan yang kita lihat. Kegagalan orang kristen untuk
memahami, apalagi mengahargai apa yang berlangsung dalam kehidupan rohani
komunitas-komunitas yang dilayani patung-patung adalah bagian integral dan
tradisi kita. Menurutnya kesalahan itu adalah kegagalan mengakui bahwa ada
sesuatu yang berlangsung secara rohani. Akibatnya, konsep-konsep yang
dikembangkan telah menununjukkan keterlibatan benda-benda materi, tetapi tidak
melenyapkan dimensi trasenden dan yang merupakan arti pentingnya yang utama.
Pengertiannya akan konsep tentang penyembahan berhala didapkan dari studinya
tentang kehidupan Hindhu. Pertama adalah upacara pratisha/pranapratisha
(upacara mengundang dewa/dewi agar menempatkan kehadirannya dalam patung tersebut
dan menguduskan patung itu menjadi temapat keillahian bagi para pemujannya).
Kedua, Berdasarkan sebuah ayat didalam yogvaitha yang berisikan tentang ‘yang trasenden’;Engkau tidak berbentuk, bentukMu satu-satunya adalah pengetahuan kami
tentang Engkau. Baginya hal ini membuktikan presepsi brilian dan sangat
terang, sebuah penyataan yang secara teologis sangat tajam yang diketahuinya.[17]
2. Stanley J. Samarthzs
Berdasarkan
pemehaman samartha, dalam kehidupan keagamaan misteri dan makna saling
berkaitan. Tanpa penyingkapan makna pada bagian-bagian khusus dalam sejarah
atau dalam kesadaran manusia, tidak mungkin ada tanggapan manusia terhadap
misteri. Sejarah agama-agama memperlihatkan bahwa tangapan-tanggapan ini banyak
dan berbeda-beda dalam tradisi keagamaan tertentu. Perbedaan ini disebabkan
oleh faktor-faktor budaya dan sejarah. Menurutnya, dalam bergerak meninggalkan
eksklusivitas dan inklusivitas, orang kristen harus tiba pada pemahaman lebih
lebih jelas mengenai keunikan Yesus. Ciri Khas Yesus Kristus tidak terletak
dalam klaim bahwa Yesus Kristus adalah Allah. Mengangkat Yesus dalam status
Allah atau membatasi Kristus kepada Yesus dari Nazaret adalah
pencobaan-pencobaan yang harus dihindari. Hal ini bertujuan untuk menghindari
bahaya-bahaya dan menolong dalam membangun hubungan-hubungan baru dengan sesama
kita yang beriman lain. Peryataan bahwa Allah adalah pencipta seluruh kehidupan
dan seluruh umat manusia, meletakkan orang kristen dan sesama umat beriman lain
bersama-sama menuju pada sumber kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu
Kristosentrisme tanpa Teosentrisme membawa kita kepada penyembahan berhala.
Kristologi teosentrisme memberi dasar untuk mempertahankan misteri Allah, serta
mengakui keberadaan Yesus Kristus. Kristologi ini memungkinkan komitmen kepada
Allah di dalam Yesus Kristus tanpa mengambil sikap negatif terhadap sesama kita
yang beriman lain, dan pada saat yang sama menawarkan kerangka konseptual yang
lebih menyeluruh untuk mengadakan dialog dengan umat beraga lain.[18]
3. Raymud Panikkar
Tujuan dan
kebahagiaan hidup Reymund Panikkar dijalaninya diatara berbagai dunia yang luas
dan berbeda-beda. Ia lahir dari ibu keturunan Spanyol yang Katolik dan ayah
India yang beraga Hindu. Namun yang menjadi dasar utama studi teksnya dan
perbandingan berbagai doktrin adalah pengalaman pribadi mistik yang ditekuninya
dalam pengalaman pribadinnya dan yang telah diamati dan dipelajarinya dalam
berbagai tradisi agama.[19]
Panikkar sendiri menghimbau umat kristiani untuk meninjau ulang pemahaman
tentang Yesus. Hal ini dikarenakan cara kebanyakan umat kristiani selama
berabad-abad, khusnya selama masa kolonial memperlakukan Yesus sebagai “Allah
suku” yang bertindak mengalahkan atau menaklukkan Allah lain. Bagi panikkar
sikap ini merupakan tantangan millenium baru, yaitu mengatasi Kristologi suku
dengan satu satu Kristofani yang memampukan umat kristen memahami pekerjaan
Kristus dimana-mana tanpa menyangka bahwa mereka memiliki pemahaman yang baik
atau memonopoli misteri yang telah dinyatakan kepada mereka melalui cara yang
unik. Dengan membedah dan menyeleksi pernyataan ini, kita memperoleh beberapa
unsur penting ttentang Kristofani
dari Panikkar, Yaitu suatu yang memberi kesempatan bagi umat Kristus untuk
bercahaya dari dalam semua agama (Chiristo-phani:Pemunculan Kristus) tanpa
memberikan hak atau monopoli pada salasatu agama. Pemahaman seperti ini akan
menyegarkan maupun memperbaharui berbagai keyakinan tradisionla tentang Yesus
dan bersamaan dengan itu akan menghilangkan sebagian tambahan monopolistik.
Berdasarkan pernyataan panikkar digambarkan bahwa Misteri tertinggi (Ultimate
Mistery) itu tidak tergambarkan, semua agama dapat ikut serta dalam misteri ini
serta mencerminkannya. Secara lebih mendalam, Panikkar khususnya menekankan
keterbatasan penalaran. Menurutnya keterbatasan Pluralism harus dipahami bahwa
tidak ada ‘satu’ yang dapat dipaksakan terhadap yang ‘banyak. Yang banyak akan
selalu ada, perbedaan dan ketidaksepakatan juga akan selalu ada.[20]
4. Seiichi Yagi
Ia
mengatakan bahwa kontak primer Allah dengan manusia dan kontak diri sekunder
Allah denga diri manusia, dimana kontak primer Allah adalah Allah yang telah
mentakan keberadaan diriNya dalam hidup manusia, walaupun sering kali tidak
disadari. Sehingga pribadi manusia menyadari akan keberadaan Allah yang merupakan
kontak sekunder Allah dengan manusia.[21]
1.7. Analisa Penyaji akan Mistis
Mistisme
bukanlah gejala yang gaib dan paranormal, seperti kemampuan membaca pikiran,
telepati, ataupun pengangkatan ketarif lebih tinggi. Oleh karena itu pengalaman
mistik merupakan pengamatan lansung atas sesuatu yang kekal, entah dipahami
dalam pengertian-pengertian yang bersifat pribadi atau hanya sekedar keadaan
dari kesadaran. Atau hilangnya rasa kepribadian atau kesadaran ego dalam suatu
keseluruhan yang lebih besar. Oleh karena itu pemahaman mistis yang kami pahami
adalah yaitu tidak ada pengalaman rohani dari manusia itu terhadap Allah.
Karena kita memahami bahwa Agama diyakini karena Allah yang menyatakan diri,
oleh karena itu kita tidak memiliki hak tentunya untuk menyatakan bahwa agama
lain itu salah. Karena bukanlah manusia yang menjumpai Allah, namun Allah yang
menjumpai manusia karena kita tidak mengetahui perjalan Allah karena kita
mahkluk terbatas tentunya. Oleh karena itulah dari plural Mistis yang
menekankan bahwa Pusat utama kita bukan lagi kepada Yesulogi namun membangun
Kristologi Teosentris yang kembali berpusat kepada Allah.
II.
KESIMPULAN
Secara
teologis pengkajian akan pluralisme akan jembatan mistis meyakini bahwa setiap
agama memiliki pandangan mistis dalam memahami doktrin agamanya, dengan tujuan
untuk memahami yang Illahi bagi setiap pemeluknya. Dan juga paham Pluralis
sabagai jembatan Mistis, hal mengenai doktrin atau cara penyembahan kepada
Allah dalam hal ini tidak terlalu dipersoalkan, tetapi yang terpenting kita
bertemu dengan Allah.
[1] Darwin Lumbantobing, Teologi dipasar Bebas, (Pematang Siantar:L-SAPA,
2007), 275
[2] Stevril I. Lumintang, Teologi Abu-abu, (Malang: Gandum Mas, 2004), 41
[3] Syafa’atun Elmirzah, Pluralisme, konflik dan perdamaian, (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2002), 7
[4] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
edisi 3, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1265
[5] John M. Echols & Hassan Shaldily, Kamus Inggris-Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), 389
[6] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius, 2006),
278-288
[7] William Johnston, Mistik-Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1978),
29-30
[8] David W. Shenk, Illah-illah
Global (Jakarta: BPK-GM, 2003), 355
[9] Mariasusay Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
1995), 285
[10] Reynold A. Nicholson, Mistik Dalam Agama Islam, (Jakarta: Bumi
Akasara, 1998), 22-23
[11]Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, 278
[12] A. G. Honing Jr, Ilmu Agama, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 134-135
[13] Harun Hadiwijono, Agama Hindhu dan Buddha, (Jakarata:BPK-GM, 2005), 64
[14] Paul F. Knitter, Satu Bumi banyak Agama:Dialog Multi Agama dan
tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK-GM, 2003), 45
[15] William Johnston, Mistik-Kristiani, 29-30
[16] Joas Adiprasetya, Mencari dasar Agama, (Jakarta:BPK-GM, 2002), 80
[17] Jonh hick&paul F. Knitter, itos keunikan agama Kristen, (Jakarta:
BPK-GM, 2001), 83-89
[18] Stanley J. Smartha, Salib dan pelangi: Kristus dan budaya Multi
agama,
[19] Paul F. Knitter, Pengatar Teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanisius,
2008), 151
[20] Paul F. Knitter, 156
[21] Seiichi Yagi, dalam john Hick & Paul F. Knitter, 182-183
No comments:
Post a Comment